Kamis, 14 Mei 2009

cerpen "Warna Pelangi Hati"

Apabila suatu ketika hadir di hati seorang manusia sedetak rasa yang memanggil-manggil akan kehadiran, apakah namanya rasa itu? Rasa yang menjelmakan senyum simpul karena bayang-bayang. Yang kadang juga tak jarang dilambangkan dengan tetes bening air mata. Bukan karena duka dan kesedihan, melainkan cinta dan kasih yang memohon munajat. Bilakah 'kan berjumpa? Yah...sebuah rasa itu adalah kerinduan. Kemanakah kerinduan itu lalu mengalir? Segenap jiwa mengumpulkannya dalam keinginan. Dan kerinduan merambah ke segala. Kerinduan-kerinduan yang berkejaran dalam kehidupan. Dalam setiap nafas yang berhembus. Kemudian menciptakan sejarah, filsafat, agama, dan apa saja. Hanya karena semua merindu. Segenap manusia merindukan kadamaian, walaupun mereka masih bingung menentukan kebahagiaan apa yang dimaksud. Juga karena kebahagiaan mengandung keambiguan makna dan setiap diri menafsirkannya dengan merdeka. Apakah kebahagiaan yang dirindukan?
“Sang perindu memang harus berkorban banyak hanya untuk sesuatu yang ia rindukan. Jadi bersabarlah menanti kedatangan suamimu, Ken!” Tutur Nena, sahabat yang selalu meneduhkan hati dan mataku.
Langit memanggul bulan sabit. Malam bisu. Tanpa kata. Tanpa doa. Jendela kamarku kaku. Tidak lagi bercakap dengan angin. Tentang hujan. Tentang embun. Tak ada suara sepatu. Juga ketukan pintu. Ziarah telah istirah. Barangkali gerah. Mungkin saja gelisah. Seperti kegelisahanku menanti hadirmu untuk kembali memeluk tubuhku, dalam setiap irama nadi dan alir darahku. Terkadang ketakutan itu menjadi benci yang menghimpit, aku takut. Bingung dengan ketentuan adanya perpisahan setelah pertemuan. Tapi aku yakin, semua hal di dunia ini dapat diubah. Pertemuan kita bukan mesir dan sungai nil, bukan langit dan bumi, bukan Armand dan Dewi Gita. Pertemuan kita adalah antara aku dan kamu. Itu saja. Kita pasti tidak akan berpisah.
“Nena, aku sudah tidak sanggup hidup tanpa suami yang sangat kucintai itu. Aku tulus mencintainya, meskipun mungkin dia tak pernah menghargai perasaan dan ketulusanku. Aku sayang dia, Nena! Dulu mungkin aku pernah menyakitinya, tapi sungguh...aku tak pernah bermaksud begitu!” Ucapku pada Nena seraya memeluk erat tubuhnya.
Aku ingin menangis. Aku ingin menangis seperti embun. Mengisi bibir-bibir bunga yang pecah. Kuncup yang mengundang kupu-kupu. Apakah mungkin? Entahlah! Barangkali aku masih senang bermimpi. Tentang perahu kertas yang menjelma perahu Nuh. Masih sering berimaji. Tentang tongkat Musa menjelma ular. Masih sering berimaji bahwa aku dan suami tercintaku tak akan pernah berpisah, sekalipun jarak dan waktu menghalangi, itu hanya sekedar penghalang, dan tak ada penghalang yang tak dapat dihilangkan. Selama kita mau.
Saat subuh tiba nanti... aku akan tetap mengeja kata berisi bait doa untuk kebahagiaanku dan dia, untuk masa depan kami, dan untuk senyuman manis anak kami yang tumbuh dalam ketidakmengertian tentang ayah kandungnya.
Kuselesaikan sholat subuhku. Dua rakaat! Ya, aku masih ingat bilangan rakaatnya. Dua tahun sudah kubaringkan subuhku dalam mimpi-mimpi. Aku pernah merasa sangat bosan bertemu dengan Tuhan. Aku pergi. Jauh sekali. Ke dalam pekat. Barangkali Tuhan selalu setia menungguku. Aku sangat yakin. Bukankah Dia Maha Penerima? Bukankah pintu pengampunanNya belum tertutup untukku? Allah akan mengampuni meski aku sering meragukan keadilanNya. Aku yakin itu. Kulihat anak semata wayangku tertidur pulas di kamarnya. Hari ini aku berniat mencari suamiku. Suami yang pernah membuatku mampu melihat warna pelangi hati. Kemanapun itu, aku harus mencarinya.
“Halo, selamat siang! Apa benar ini PT Adikuasa Raya? Maaf, Pak! Saya Ken, bisa saya bicara dengan Pak Johan?” Akhirnya ponselku menjadi pembantu langkah awalku mencari jejak suamiku.
“Maaf, Bu! Pak Johan sudah lama tidak bekerja di sini sejak kecelakaan yang menimpanya.” Sahut suara lembut yang kubayangkan datang dari seorang perempuan berambut panjang dengan wajah ayunya.
Hatiku benar-benar kacau mendengar jawaban itu...tanpa sengaja ponselku jatuh ke lantai dan berhamburan. Kecelakaan??? Lalu bagaimana dengan keadaan suamiku sekarang? Tangisku pecah sejadi-jadinya. Menangisi seorang pria yang pernah membuatku berharga, pernah membantu mengijinkanku mencecap kurma surga meskipun itu hanya sekejap karena ia tergesa meninggalkanku, tanpa alasan yang jelas. Kulangkahkah kakiku keluar rumah dengan niat mendatangi rumah yang berada di luar kota sana, yang katanya sekarang menjadi tempat tinggal suamiku bersama istri barunya, aku pergi meski sebenarnya aku sendiri tak yakin. Semua info itu kudapat dari Nena.
Senja ini, seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, matahari tetap berwarna emas. Satu yang berbeda, sore ini aku berada di Kota Yogyakarta, di hadapan sebuah rumah kontrakan di kawasan Baciro. Yogyakarta, sebuah kota yang katanya berhati nyaman, tapi mengapa hatiku sama sekali merasa tak nyaman ketika pertama menginjakkan kaki di Terminal Giwangan. Mungkin ini karena aku terbayang wajah suamiku. Jantungku benar-benar terasa ingin meloncat ketika melihat seorang pria keluar dari rumah kontrakan dengan kursi rodanya.
“Mas Johan! Mas! Ini aku, Ken, istrimu!” Parau suaraku beriringan dengan lelehan airmata. Air mata kerinduan, dendam, cinta, dan ketulusan yang telah padu.
“Ken??? Untuk apa kamu ke sini? Untuk menertawakan keadaanku? Kamu puas melihatku seperti ini? Sekarang tolong kamu pergi dari sini, lupakan aku. Maaf kalau selama ini aku terlalu lancang padamu, maaf kalau aku menyakitimu. Tapi aku punya alasan atas sikapku selama ini. Tinggalkan aku, dan jangan ganggu hidupku!” Mas Johan meninggalkan istri yang sudah lima tahun dia lupakan. Dia terburu menutup pintu, dan mungkin dikuncinya.
“Mas, tunggu, aku ingin memperbaiki hubungan ini.” Kudekati pintu rumah bercat ungu itu. Kuketuk keras-keras, berharap penghuninya akan keluar dan mengijinkanku masuk. “Mas tolong kasih aku kesempatan, apa kamu tidak mau mencoba menjalani hidup denganku lagi? Aku mencintaimu, Mas! Masih dan akan selalu.” Ternyata teriakanku tidak berguna. Suami yang sangat kurindukan belaiannya itu sama sekali tak merespon tindakanku.
Tetangga menolongku setelah aku jatuh pingsan. Ketika siuman aku telah berada di rumah warga yang terletak di samping kontrakan Mas Johan.
“Anda saya temukan pingsan di depan rumah Pak Johan. Maaf, kalau boleh tahu Anda ini siapanya Pak Johan ya?” sapa halus Bu Raminten, tetangga Mas Johan yang kemudian mengijinkanku tinggal di rumahnya dalam waktu yang lumayan lama.
“Saya...saya istrinya, Bu. Saya sengaja datang dari Semarang untuk menemuinya, tapi ternyata dia tak peduli dengan saya.” Air mataku kembali meleleh.
Setelah mendengar penjelasanku panjang lebar, Bu Raminten menaruh iba padaku dan mengijinkanku untuk bermalam di rumahnya, bahkan beliau memberi penjelasan bahwa ternyata dugaanku selama ini salah. Mas johan tidak pernah menikah dengan wanita manapun. Dalam hatiku aku bersyukur, setidaknya dia tidak meninggalkanku demi alasan yang sangat aku benci. Bu Raminten memberikanku sebuah nomor HP yang katanya adalah nomor suamiku.
Ribuan kali aku berpikir setelah akhirnya kukirim pesan singkat melalui ponselku. Niatku sudah bulat.
Mas Johan, ini Ken. Mas, jauh-jauh aku datang ke sini hanya untuk memperbaiki hubungan kita. Sebenarnya apa salahku hingga kau tak mau mengulang kisah indah kita? Pelangi, anakmu,dia sudah besar, Mas. Dia selalu menanyakanmu. Tolong kembali padaku, kita mulai lagi ini dari awal, aku janji akan memperbaikinya. Aku mencintaimu dengan tulus, Mas, jadi tolong beri aku kesempatan.
Kupejamkan mataku, dan kukirim pesan singkat itu ke nomor yang sudah kuterima dari Bu Raminten. Berharap suamiku akan menyadari kesungguhan dan ketulusanku. Kuharap asanya semanis asaku. Agar aku dapat kembali merangkai senyum simpul di bibirku, agar aku kembali dapat melengkungkan indah pelangi di hatiku. Ingatanku melayang ke masa tujuh tahun silam, saat Mas Johan menyatakan keinginan hatinya untuk menatap masa depan denganku, saat pertama ia memeluk tubuh yang tak pernah bisa kurelakan untuk orang lain, dan saat aku meyakinkan diriku bahwa Mas Johan adalah payungku dalam badai kehidupan. Lamunanku berhenti saat ponsel digenggamanku berbunyi. Kubaca pesan singkat.
Sudahlah, aku tidak mau ada wanita di dalam hidupku untuk saat ini, dan entah sampai kapan. Jadi tolong, jangan ganggu hidupku. Aku serahkan pengasuhan Pelangi padamu. Maaf.
Dunia runtuh, dan planet antariksa jatuh tepat di atas kepalaku. Semua harapanku kurasai kandas. Pikirku kembali mengembara, mengapa garis hidupku harus seperti ini, kenapa Tuhan seperti enggan membantuku dalam melunakkan hati Mas Johan? Kuputuskan untuk kembali memohon padanya, meski malam semakin pekat, kupaksakan juga untuk mendatanginya.
“Assalamualaikum. Mas, tolong bukakan pintu, ini Ken. Aku mau bicara. Tolong kasih aku kesempatan.” Pintaku padanya setelah aku tiba di depan pintu rumah kontrakannya. Sengaja kusulap suaraku menjadi suara seorang pemohon, kuharap dia iba.
Dugaanku salah.
“Pergi kamu dari sini, Ken. Aku sudah bilang, aku punya alasan untuk meninggalkanmu. Terserah kamu mau percaya aku atau Nena, sahabatmu itu, dan terserah juga ketika kau mau mempercayai orang lain, termasuk Bu Raminten yang baru saja kau kenal.” Mas Johan mengusirku.
“Tapi, Mas! Aku butuh kamu. Aku butuh suami.” Kucoba lagi memohon padanya.
“Cari saja pria lain yang lebih mencintaimu. Aku belum bisa.” Diputarnya kursi roda dengan maksud meninggalkanku.
“Aku tidak bisa, Mas. Hanya kamu yang aku cinta, aku tidak bisa menjalani hidup dengan orang lain.” Kupastikan kata ini adalah senjata hebatku. Ternyata tidak menggoyahkan keputusan Mas Johan sedikitpun.
Dia menghampiriku dan melayangkan sebuah tamparan di pipi kananku. Kemudian tetangga gempar setelah Mas Johan berteriak-teriak mengusirku. Bu Raminten memapah jalanku yang sudah gontai. Dibaringkannya aku di tempat tidur. Ternyata prediksiku meleset sangat jauh, nasib benar-benar sedang tidak berpihak padaku. Tapi aku yakin, ini hanya masalah waktu, aku pasti akan mendapatkan kembali hati suamiku. Hati manusia mana yang tak luluh oleh cinta dan ketulusan. Jika niatku baik, kuyakin Tuhan akan membantuku. Aku akan tetap bersabar sampai Mas Johan kembali menerimaku.
“Ken, Ibu rasa sebaiknya jangan kau temui lagi suamimu. Jika memang masih ada yang ingin kau sampaikan, tulislah surat untuknya.” Teduh suara itu mendamaikan nuraniku.
“Baiklah, Bu. Saya juga tak ingin membuat lingkungan di sini kacau oleh teriakan Mas Johan. Tapi saya yakin, jauh di lubuk hatinya dia masih mencintai saya, Bu. Saya yakin itu.” Kata yang sebenarnya doa itu kuhadirkan.
Pipiku masih memar oleh bekas tamparan Mas Johan. Tapi kukuatkan lagi tekadku, aku pasti bisa meluluhkan hati suamiku, aku yakin masih ada cinta di hatinya, meskipun hanya sedikit. Kuikuti nasehat Bu Raminten, kuputuskan untuk menulis surat pada Mas Johan.
Mas Johan...
Aku tahu ini semua tak terlalu penting untukmu…tapi di sini, dalam galau pikirku, ini terlalu berharga untukku kuharap kau mau mengerti.

Begitu banyak hal yang ingin aku katakan, semuanya sudah berupa kata-kata yang menggunung dalam dada. Tapi aku tak mampu bersuara karena aku kehilangan setiap makna dari semua kata yang ada dalam tenggorokanku. Suara adalah bentuk lain dari cerita, yang harusnya muncul untuk membagi isi hati. Tapi butuh keberanian untuk mengungkapkan yang terukir di dalam kalbu, dan aku adalah penakut … isi hatiku pun lebur dalam ruang hampa. Maka kertas ini adalah suara hatiku…

“…tolong jangan ganggu hidupku….” aku tahu kalimat itu tidak buruk dalam diksi dan susunannya, tapi itu racun untukku…serupa penyakit yang menjangkit, pelan, sakit, dan membunuhku.

Saat aku mencintaimu dengan tulus, mengacuhkan apapun yang dapat menjadi penghalang, merelakan semua yang tak pernah bisa kurelakan untuk orang lain, membelenggukan cinta dan hatiku hanya dalam hatimu, dan aku telah menyandarkan segala penyangga hidupku padamu. Kalimat itu sampai pada retina, hati, dan mengambil nyawa jiwaku. Sekarang kurasai semuai telah habis…

Aku bingung mau mulai dari mana… Aku sedih, rasanya kebahagiaan itu terlalu singkat untukku. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa di hadapmu, tapi awalnya aku berpikir bahwa ketulusan cintaku akan membuat kisah kita indah, Tapi ternyata itu tak membuatmu cukup mampu untuk mencintaiku.

Apa salahku? Itu sebenarnya yang ingin kutanyakan padamu, hingga kamu, orang yang kucintai dengan tulus. Orang yang kuanggap akan mampu menjadi penyangga hidup. Orang yang kuharap menghapus air mataku. Orang yang kuharap mampu membangunkan ketika aku jatuh, membuat semua berbalik arah. Sakit yang kurasa saat ini

Tapi kurasa pertanyaan itu harus kuurungkan, itu menjadi tidak penting lagi, ketika kau mengatakan bahwa kehadiranku sangat mengganggu hidupmu. Kalimat itu serupa samurai huruf yang menyayat hatiku sampai kini.

Awalnya aku berpikir semua akan berakhir manis. Aku masih ingat benar saat indah kita yang hanya sekejap, masih dan akan selalu kuingat. Aku bahkan telah berpikir tentang semua hal yang dapat kulakukan untuk membantumu, tidak banyak harapanku, aku hanya ingin membuat hidupmu lebih indah bersamaku. Aku. Aku sama sekali tidak pernah punya niat untuk mengganggu hidupmu… Apalagi untuk sangat mengganggu hidupmu. Sungguh. Aku tidak pernah bermaksud begitu. Ada sebersit penyesalan, tapi tak apa…aku yakin tidak ada yang sia-sia dalam cinta.

Kalau aku diijinkan untuk meminta satu hal darimu, aku ingin minta kau kembali padaku, aku tidak bisa tanpamu. Aku dah coba untuk bangkit, tapi itu sulit, entah karena apa. Aku sendiri tak pernah sengaja untuk mencintaimu sebesar ini, tapi cinta itu kehendak Allah. Dia telah menyemai benih cinta di hatiku, dan benih itu terlanjur tumbuh, terlalu subur.

Aku mencintaimu, masih, dan akan selalu

Jika kau mau kembali padaku, aku akan sangat berterima kasih padamu. Tapi jika kau lebih bahagia tanpaku, aku akan pergi. Kumohon, iringi aku dengan doa supaya aku tidak lagi terluka seperti ini, iringi aku dengan doa supaya kelak orang yang kucintai akan mencintaiku dengan tulus, tidak seperti kau yang tak membalas ketulusanku, iringi aku dengan doa supaya aku bisa berdiri tanpamu, iringi aku dengan doa agar kenangan indahku bersamamu tak lagi menghantui, iringi aku dengan doa agar aku dapat kembali mencintai setulus cintaku padamu.


Aku akan pergi dalam iringan doa. Aku akan pergi dalam doa tulusku, dalam harapanku, aku berharap kau mau kembali padaku. Aku sayang kamu, masih, dan akan selalu

Terima kasih…

***
Kali ini tidak hanya tamparan yang aku dapatkan. Selesai membaca surat yang kuselipkan di bawah pintu itu, Mas Johan mendatangi rumah Bu Raminten dan memanggilku dengan suara lantang.
“Ken!!! Keluar kamu! Apa maumu? Kamu masih manusia kan? Masih mengerti bahasa halus manusia kan? Masih bisa mengeja kata kan? Keluar kamu!” Teriaknya seperti hendak menyelesaikan waktu hidupku.
“Eh, tolong bicara yang sopan. Kamu sadar, sedang berbicara dengan siapa? Dia istrimu, isri yang dengan tulus mencintaimu. Dan kamu sedang berada di rumahku, hargai aku sebagai tuan rumah.” Bu Raminten keluar rumah dengan kondisi emosi yang sama dengan Mas Johan.
“Ibu tidak usah ikut campur urusan rumah tangga saya! Saya bisa selesaikan sendiri. Ken, sini kamu!” Mas Johan sudah seperti orang yang sama sekali tidak mengenal kasih.
Demi menghindari keributan. Kuajak Mas Johan bicara di dalam rumah Bu Raminten.
“Mas, apa aku salah, kalau sampai sekarang aku masih mencintaimu? Aku cuma ingin bisa membuatmu bahagia, itu saja. Terlepas dari kondisimu sekarang, aku tulus mencintaimu.” Aku tahu ini akan sia-sia, tapi aku tetap harus mencoba.
“Kamu bohong.” Mas Johan teriak dan menarik tubuhku. Dia mengeluarkan pisau dari sakunya dan menghujamkannya ke perutku. “Kamu cuma kasihan dengan kondisiku.” Dicabutnya pisau itu dan disayatlah nadi di tangan kirinya. “Ken, ini akhir yang kupilih. Aku juga masih mencintaimu.”
***
Ketika tersadar, aku telah terbaring di rumah sakit, dan Mas Johan juga terbaring dengan mata terpejam. Yang membuatku heran mengapa ada beberapa polisi mengelilingi kami??? Aku semakin heran ketika yang menyambutku bukan orang tua, sahabat, anak, atau paling tidak Bu Raminten, kenapa justru polisi. Dan seperti tak punya sopan santun, polisi itu langsung bertanya pada dokter kapan interogasi bisa dimulai. Ya Tuhan...kenapa perjalanan cintaku harus serumit ini. Tapi pelangi di hatiku mulai melengkung dengan warna yang memang belum sempurna. Aku merasa ada secercah harapan, sebelum kami sama-sama pingsan, Mas Johan mengatakan bahwa dia masih mencintaiku. Tak penting bagiku itu tulus atau tidak, yang jelas aku sempat mendengarnya. Bangunlah mas, dan teruskan niatmu untuk membunuhku jika kau tak mau kembali menerimaku.
Interogasi dimulai. Rentetan pertanyaan kudengar.

2 komentar:

  1. aduh pusing...... suruh mbaca..... cekut2 nih kepala.....

    BalasHapus
  2. waduh...kalo ga baca gmn bisa tau ceritanya...

    BalasHapus