Jumat, 29 Mei 2009

CERPEN "DEMI SEBUTIR PEMACU RAGA"

Demi Sebutir Pemacu Raga

Titin Yulianti Prawesti

Bintang malam ini menebar guratan senyum manis bagi penikmatnya. Kerlipnya menyinari alam raya beserta segala hiasan kehidupan. Bintang menyinariku pula karena memang aku pelaku sedu sedan kehidupan. Aku pelaku suka dan luka kehidupan. Aku dan keluargaku. Terang yang memang tak melampaui lampu neon itu cukup membuatku merasa beruntung. Memang bintang itu takkan pernah kumiliki, tapi Tuhan telah mengirim bintang seterang aurora. Suami dan bayi mungilku. Semangat hidup yang lebih terang dari segala rasi bintang dan lebih menakjubkan dari susunan galaksi.
Hak sepatu yang terlalu tinggi membuat kaki dan seluruh badanku merasakan nyeri yang amat. Bahkan, tumit yang dulunya menjadi incaran setiap laki-laki kini sudah berubah bagai retakan tanah di musim kemarau. Tapi inilah tuntutan profesiku. Sebagai pelayan toko yang biasa dihaluskan oleh para bahasawan menjadi pramuniaga, aku harus berjalan sepanjang hari dan istirahatku adalah berdiri sejenak. Semua derita itu berkurang ketika aku menatap langit yang penuh bintang, dan dalam gamang pandangku aspal yang terbentang kulihat sebagai lantai marmer warna hitam.
“Seandainya ada orang atau malaikat yang menawari aku tumpangan untuk pulang ke rumah, aku pasti langsung menerimanya,” keluhku dalam hati sambil berharap Tuhan benar-benar mengirimkan penolong.
Kendaraan umum sudah tak ada yang lewat, lagi-lagi aku harus berjalan sejauh satu kilometer. Sebuah jarak yang cukup jauh untuk kulewati pada malam yang telah larut dengan sepatu hak tinggi dan rok model sepan yang menghambat kelincahan berjalanku. Hal ini memang membuatku kelelahan, tapi begitu sampai di rumah, semua rasa lelah hilang berganti dengan senyum. Suami dan anakku adalah pengobat lelah dan pemacu semangat.
“Ini, Mas saya bawakan nasi bungkus.” Sapaku pada suami yang telah membuatku mengerti arti hidup dan kehidupan seraya mencium tangannya.
Suami yang selalu melegakan hatiku itu melahap nasi yang kubawakan dengan nikmat. Baju seragam yang sudah tak karuan lagi aromanya itu kulepas dan segera kukenakan baju tidur yang telah disetrika rapi. Suami yang seharusnya kumanjakan itulah yang selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak dan menyetrika baju. Tentu saja ini buruk dan jauh dari sebutan keluarga ideal, bahkan mungkin aku jauh dari sebutan istri ideal.
“Maafkan aku, Mas! Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu. Tapi hidup memaksa kita menjalani ini semua. Aku ingin mengurusmu dan memanjakanmu, tapi waktu siang yang hanya 12 jam itu kuhabiskan di toko.” Aku hanya bisa bergumam, suamiku pasti marah jika mendengar. Aku hanya bisa menatap suami yang kini memijat betisku hingga rasa nyaman singgah sejenak.
“Kamu pasti capek! Ya kan? Aku ingin sekali bisa meringankan bebanmu, tapi apa yang bisa kulakukan dengan tangan yang hanya sebelah ini?” ucap Mas Hendro sambil terus memijatku.
Setiap kali kudengar suara itu, sakit yang sangat langsung menghinggapi rasa dan pikir. Kecelakaan naas itu memang telah mengambil sebagian kebahagiaan kami. Dulu Mas Hendro adalah seorang pilot, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Kecelakaan tiga tahun yang lalu itu membuatnya harus kehilangan tangan kirinya. Tak pernah kusangka bahwa laki-laki yang dulu mampu membiayai hidup semua keluarganya kini kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Tapi Mas Hendro selalu sabar menghadapi hidup, dia selalu memberi senyum padaku, meski sebenarnya pasti ada luka di hatinya.
“Tidak, Mas. Aku tidak lelah. Bagaimana dengan si kecil? Pasti dia rewel terus ya? Mas pasti capek mengurus dia.” Percakapan klise namun manis ini selalu ada setiap kali aku pulang kerja.
Lelahku telah berganti semangat dan keharusan ketika mentari menebar kasihnya dalam pancaran sinar hangat.
“Mas, aku berangkat kerja ya! Jaga Bintang ya, Mas.” Pamitku sambil mencium Bintang, bayi pertamaku yang sejak berumur dua bulan sudah tidak kuberi asi lagi.
“Iya, kamu hati-hati ya.” Jawab suamiku sambil minum teh.
Jalanan sudah mulai ramai dan padat. Keringat mulai muncul di keningku ketika sampai di depan Toko Andra tempat aku bekerrja. Kulihat suasana tidak seperti biasa, ada tali berwarna kuning melintas di depan toko. Garis itu sudah sering kulihat, tapi aku tetap belum mengenalinya. Bingungku bertambah ketika kubaca bahwa ternyata garis itu adalah garis polisi. Ada apa gerangan dengan toko yang sudah hampir tiga tahun membantuku hidup ini?
“Ada apa ini, Pak?” tanyaku pada satpam bernama Sugiono yang datang lebih awal dariku.
“Kantor kita disegel polisi. Katanya, Pak Rudi pemilik toko ini terlibat hutang dan toko ini dijadikan jaminan.” Ucapnya putus asa.
“Apa? Lalu bagaimana nasib kita dan karyawan lainnya?” tanyaku.
“Wah, saya juga tidak tahu. Tapi tadi Pak Rudi memberi pengumuman bahwa semua karyawan diminta datang ke rumahnya.” Pak Sugiono menjelaskan lalu meninggalkanku dalam kebingungan.
PHK. Itulah hal yang paling kutakutkan setelah mendengar penjelasan Pak Sugiono. Meski rasa takut menyelubungi pikiran, bersama sepuluh karyawan lainnya aku datang ke rumah Pak Rudi.
“Maaf saudara-saudara, saya terpaksa melakukan ini, kalian telah melihat sendiri bahwa toko telah disita polisi, jadi saya tidak mungkin mempekerjakan kalian lagi.” Ucap Pak Rudi datar namun terlihat penuh penyesalan.
Sudah kuduga bahwa hari ini, setelah toko disegel, aku akan dipecat. Aku dipecat tanpa pesangon. Sepeserpun. Menyakitkan, tapi ini kenyataan. Lelah yang selama ini bisa memberiku sesuap nasi kini tak bisa kuulangi lagi. Aku tak tahu cara mengatakan semua ini pada Mas Hendro. Tapi ini harus kukatakan.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan kini. Mas Hendro telah kehilangan tangan kirinya, dan kini aku kehilangan pekerjaan. Langkahku gontai dan matahari menyengat sambil mencibirkan bibirnya, seolah dia menertawakan nasibku.
“Tidak, aku tidak boleh pasrah dengan kehidupan. Besok aku akan mencari pekerjaan yang baru. Demi Mas Hendro. Demi Bintang.” Semangat yang tinggal sisa berhasil kukumpulkan. “Siang, Mas.” Sapaku pada suami yang sedang menyuapi anakku.
“Siang. Loh, kok kamu sudah pulang?” Mas Hendro tampak bingung
“Maafkan aku, Mas. Aku diberhentikan dari pekerjaan. Toko tempat aku bekerja disegel polisi, dan pemilik toko memberhentikan semua karyawan. Tanpa pesangon.” Meski berat, keluar juga kalimat buruk itu.
“Apa? Kamu serius? Lalu bagaimana dengan….” Mas Hendro tampak ragu dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kata-katanya.
Sudah kuduga, bahwa Mas Hendro mempunyai kekhawatiran yang sama denganku. Kami takut esok tak akan ada hidangan makan pagi, makan siang, dan makan malam. Kami takut tak bisa bertahan hidup. Sesuap nasi dan sepotong lauk yang masih bisa kami nikmati hingga kini adalah hasil kerja kerasku di toko. Kini setelah aku diPHK, apalagi yang bisa kami andalkan?
“Mas Hendro tenang saja, besok pagi-pagi sekali aku akan melamar pekerjaan. Dimana saja, Mas. Apa saja.” Aku berusaha menenangkan Mas Hendro, dan sepertinya dia paham sehingga dia mengatur roman mukanya agar terlihat tenang.
“Iya, semoga kamu berhasil.” Mas Hendro meninggalkanku.
Malam telah datang, begitu panjang. Ia pergi setelah mentari memaksanya dengan pagi. Mas Hendro yang biasanya sudah menyiapkan makanan kulihat masih terbuai dalam mimpi. Barangkali Mas Hendro sedang mimpi menjadi orang terkaya di Indonesia. Dugaan itulah yang membuatku enggan membangunkannya. Pada pagi seperti ini, empat tahun yang lalu, pembantu rumah yang berjumlah tiga orang sudah menyiapkan sarapan untukku dan suami tercinta. Sopir pribadi telah siap dengan Lanxer B 8275 OB warna merah di depan rumah mewahku. Kini, di ruang tamu yang merangkap fungsi sebagai ruang keluarga dan ruang makan, televisi berukuran 14inci yang masih tersisa, dulu televisi ini kami letakkan di kamar pembantu. Aku tetap harus bersyukur masih diberi kesempatan melihat dan memiliki barang elektronik ini.
“Mas, sekarang sudah jam sembilan lho, Mas nggak bangun dulu? Mandi atau mau sarapan dulu?” bisikku di telinga Mas Hendro.
“Memangnya ada yang masih bisa kita makan hari ini? Memangnya masih punya uang untuk membeli beras?” jawab suamiku kasar.
Ini pertama kali suami yang terkenal bijaksana itu membentakku. Aku tahu dia tidak bermaksud begitu. Dia pasti mentah oleh keadaan. Dia tidak bisa menahan diri. Rentetan pertanyaan yang dia ucapkan adalah gambaran kekhawatirannya menghadapi hidup. Kucoba tenangkan diri dengan menghidupkan televisi.
“Ah, lagi-lagi berita pembunuhan.” Aku mencoba mangalihkan perhatian tapi berita itu terdengar menarik dan mempengaruhi pikiranku.
Tak kusadari benar setan ataukah bisikan nurani yang mempengaruhi tindakan bodohku saat itu. Aku sudah tidak bisa melihat lagi birunya langit dan terangnya mentari, yang kulihat hanyalah gelap yang menyergap. Sisa uang yang hanya tinggal selembar dua puluh ribuan segera kuambil dan bergegas aku pergi sebelum suami dan anakku terbangun. Ini kuanggap akan menyelesaikan semua, akan mengakhiri penderitaan yang panjang. Logika dan norma kusimpan rapat-rapat dalam peti nurani.
“Mas, ayo bangun, minum dulu kopinya. Dan tolong minumkan air gula ini pada Bintang. Dia pasti sangat haus.” Ucapku pada Mas Hendro setelah pulang dari toko.
Tanpa pikir panjang, Mas Hendro menenggak kopi dan memberi Bintang air gula yang sudah kucampur dengan obat serangga. Aku tahu bahkan sangat tahu, bahwa perbuatanku ini terkutuk, tapi aku tak peduli. Kurasa ini yang terbaik bagi kami. Mas Hendro tidak perlu lagi menderita karena tubuhnya yang cacat. Bintang tak perlu lagi menjalani hidup sebagai anak yang lahir di keluarga miskin yang tidak pernah mampu memberinya hidup layak. Aku, tidak perlu lagi memeras keringat.
Kampung menjadi gempar, dan sudah kuduga semua warga akan menuduhku melakukan semua ini. Warga segera melapor ke kantor polisi terdekat, dan selang lima belas menit satu mobil patroli datang berisikan lima anggota satuan reskrim. Polisi-polisi tampan itu segera membawa jenasah suami dan anakku yang telah kubunuh. Pembunuhan adalah dosa, tapi bagiku lebih berdosa lagi melihat suami dan anakku hidup dalam kemiskinan.
Kasus ini tak membuat para polisi kesulitan karena aku segera mengakui semua yang telah kulakukan.
“Bu, apa ibu sudah tidak punya hati nurani ketika melakukan semua ini? Anggap saja pertanyaan ini tidak datang dari seorang polisi. Saya bertanya sebagai manusia biasa.” Tanya komandan satuan reskrim tempat aku ditahan.
“Pak, nurani saya mati ketika melihat suami dan anak saya selalu menderita karena kemiskinan. Jika saja saya adalah seorang bhayangkari dari suami yang menjabat komandan satuan reskrim berpangkat ajun komisaris besar polisi seperti bapak, saya tidak akan mungkin melakukan semua ini. Saya tidak akan merasa miskin dan anak-anak saya tidak akan menderita. Sampai kapanpun, orang yang jauh dari predikat miskin seperti bapak tidak akan mengerti dengan sikap saya.” Jawaban itu kulontarkan dan kuharap polisi yang ada dihadapanku akan memaklumi, meski kutahu itu sulit.
“Apapun alasan yang Anda beri, Anda akan tetap terjerat pasal.” Polisi berwajah tampan itu seperti ingin meyakinkan bahwa perbuatanku salah dan akan membuatku menderita.
“Saya siap, Pak. Sekalipun jerat tali gantungan yang akan menghukum, saya siap. Yang penting saya tidak lagi melihat penderitaan suami dan anak saya. Karena mereka segalanya untuk saya.” Aku sudah mulai berkunang-kunang dan kuminta polisi menghentikan rentetan pertanyaan yang hanya membuatku muak.
Pagi telah datang setelah malam yang kian panjang kulewati bersama para tahanan lain. Hari ini sidang pertamaku akan digelar. Tidak ada pengacara ataupun saksi pembela. Aku tidak sanggup dan tidak mampu menghadirkan mereka. Kurasa tidak ada orang yang mau mengerti alasanku, bahkan berlindung pada Tuhan saja aku sudah tidak berani. Aku yakin Tuhan pasti marah. Biarlah, karena dijerat dengan hukuman apapun aku siap. Senyum yang sudah berat ini coba kulebarkan, tapi sia-sia.
“Maafkan istrimu ini, Mas. Maafkan ibu, Bintang.” Ribuan kukang-kunang kurasai menyerang dan semua gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar