Jumat, 07 Agustus 2009

air mata untuk si burung merak....

innalillahi....
hari ini kabar duka menyelimuti hati....menyelimuti dunia sastra...dan kuyakin langit indonesia dan duniapun muram...

manusia yg selama ini menjadi kiblat dalam dunia sastrakuw meninggal tadi malam....

pagi tadi kekasihku dengan ringannya mengatakan....WS Rendra meninggal lho....

denger itu spontan akuw nangis....buka internet ternyata berita tentang meninggalnya sang maestro sudah sangat banyak....

selama ini ketika ditanya tentang dunia sastra selalu nama beliau yg kuingat...ketika membuat puisi....cerpen...ato apapun tentang sastra dia yg selalu ada dalam benakku....

aku memang belum terlalu mengerti tentang seluk beluk sastra...belum banyak yang kumengerti...tapi dengan membaca karja, proses kreatif, dan apapun tenatng rendra aku merasa sangat dekat dengan sastra....begitu berharganya beliau untukku....

skripsi yang menurut banyak orang sulit...kukerjakan dalam waktu yg relatif singkat...karna Rendra selalu jadi inspirasiku....

sekarang, saat aku baru akan mencoba lebih memperdalam dan lebih mencintai dunia sastra...Beliau meninggal...karyanya memang masih ada....tapi sungguh....aku benar-benar butuh nafasnya ada di dunia ini....

selamat jalan Rendra....jadilah pemompa jantungku....pemacu aliran darahku....agar aku dapat selalu mendapat inspirasi darimu.....

Kamis, 11 Juni 2009

030609

angka kelipatan yg bagus kan????

semoga saja menjadi awal yg baik

membuat hidupku lebih baik

membuat semangatku dalam mengejar cita dan cinta semakin kuat....

Jumat, 29 Mei 2009

CERPEN "DEMI SEBUTIR PEMACU RAGA"

Demi Sebutir Pemacu Raga

Titin Yulianti Prawesti

Bintang malam ini menebar guratan senyum manis bagi penikmatnya. Kerlipnya menyinari alam raya beserta segala hiasan kehidupan. Bintang menyinariku pula karena memang aku pelaku sedu sedan kehidupan. Aku pelaku suka dan luka kehidupan. Aku dan keluargaku. Terang yang memang tak melampaui lampu neon itu cukup membuatku merasa beruntung. Memang bintang itu takkan pernah kumiliki, tapi Tuhan telah mengirim bintang seterang aurora. Suami dan bayi mungilku. Semangat hidup yang lebih terang dari segala rasi bintang dan lebih menakjubkan dari susunan galaksi.
Hak sepatu yang terlalu tinggi membuat kaki dan seluruh badanku merasakan nyeri yang amat. Bahkan, tumit yang dulunya menjadi incaran setiap laki-laki kini sudah berubah bagai retakan tanah di musim kemarau. Tapi inilah tuntutan profesiku. Sebagai pelayan toko yang biasa dihaluskan oleh para bahasawan menjadi pramuniaga, aku harus berjalan sepanjang hari dan istirahatku adalah berdiri sejenak. Semua derita itu berkurang ketika aku menatap langit yang penuh bintang, dan dalam gamang pandangku aspal yang terbentang kulihat sebagai lantai marmer warna hitam.
“Seandainya ada orang atau malaikat yang menawari aku tumpangan untuk pulang ke rumah, aku pasti langsung menerimanya,” keluhku dalam hati sambil berharap Tuhan benar-benar mengirimkan penolong.
Kendaraan umum sudah tak ada yang lewat, lagi-lagi aku harus berjalan sejauh satu kilometer. Sebuah jarak yang cukup jauh untuk kulewati pada malam yang telah larut dengan sepatu hak tinggi dan rok model sepan yang menghambat kelincahan berjalanku. Hal ini memang membuatku kelelahan, tapi begitu sampai di rumah, semua rasa lelah hilang berganti dengan senyum. Suami dan anakku adalah pengobat lelah dan pemacu semangat.
“Ini, Mas saya bawakan nasi bungkus.” Sapaku pada suami yang telah membuatku mengerti arti hidup dan kehidupan seraya mencium tangannya.
Suami yang selalu melegakan hatiku itu melahap nasi yang kubawakan dengan nikmat. Baju seragam yang sudah tak karuan lagi aromanya itu kulepas dan segera kukenakan baju tidur yang telah disetrika rapi. Suami yang seharusnya kumanjakan itulah yang selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak dan menyetrika baju. Tentu saja ini buruk dan jauh dari sebutan keluarga ideal, bahkan mungkin aku jauh dari sebutan istri ideal.
“Maafkan aku, Mas! Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu. Tapi hidup memaksa kita menjalani ini semua. Aku ingin mengurusmu dan memanjakanmu, tapi waktu siang yang hanya 12 jam itu kuhabiskan di toko.” Aku hanya bisa bergumam, suamiku pasti marah jika mendengar. Aku hanya bisa menatap suami yang kini memijat betisku hingga rasa nyaman singgah sejenak.
“Kamu pasti capek! Ya kan? Aku ingin sekali bisa meringankan bebanmu, tapi apa yang bisa kulakukan dengan tangan yang hanya sebelah ini?” ucap Mas Hendro sambil terus memijatku.
Setiap kali kudengar suara itu, sakit yang sangat langsung menghinggapi rasa dan pikir. Kecelakaan naas itu memang telah mengambil sebagian kebahagiaan kami. Dulu Mas Hendro adalah seorang pilot, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Kecelakaan tiga tahun yang lalu itu membuatnya harus kehilangan tangan kirinya. Tak pernah kusangka bahwa laki-laki yang dulu mampu membiayai hidup semua keluarganya kini kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Tapi Mas Hendro selalu sabar menghadapi hidup, dia selalu memberi senyum padaku, meski sebenarnya pasti ada luka di hatinya.
“Tidak, Mas. Aku tidak lelah. Bagaimana dengan si kecil? Pasti dia rewel terus ya? Mas pasti capek mengurus dia.” Percakapan klise namun manis ini selalu ada setiap kali aku pulang kerja.
Lelahku telah berganti semangat dan keharusan ketika mentari menebar kasihnya dalam pancaran sinar hangat.
“Mas, aku berangkat kerja ya! Jaga Bintang ya, Mas.” Pamitku sambil mencium Bintang, bayi pertamaku yang sejak berumur dua bulan sudah tidak kuberi asi lagi.
“Iya, kamu hati-hati ya.” Jawab suamiku sambil minum teh.
Jalanan sudah mulai ramai dan padat. Keringat mulai muncul di keningku ketika sampai di depan Toko Andra tempat aku bekerrja. Kulihat suasana tidak seperti biasa, ada tali berwarna kuning melintas di depan toko. Garis itu sudah sering kulihat, tapi aku tetap belum mengenalinya. Bingungku bertambah ketika kubaca bahwa ternyata garis itu adalah garis polisi. Ada apa gerangan dengan toko yang sudah hampir tiga tahun membantuku hidup ini?
“Ada apa ini, Pak?” tanyaku pada satpam bernama Sugiono yang datang lebih awal dariku.
“Kantor kita disegel polisi. Katanya, Pak Rudi pemilik toko ini terlibat hutang dan toko ini dijadikan jaminan.” Ucapnya putus asa.
“Apa? Lalu bagaimana nasib kita dan karyawan lainnya?” tanyaku.
“Wah, saya juga tidak tahu. Tapi tadi Pak Rudi memberi pengumuman bahwa semua karyawan diminta datang ke rumahnya.” Pak Sugiono menjelaskan lalu meninggalkanku dalam kebingungan.
PHK. Itulah hal yang paling kutakutkan setelah mendengar penjelasan Pak Sugiono. Meski rasa takut menyelubungi pikiran, bersama sepuluh karyawan lainnya aku datang ke rumah Pak Rudi.
“Maaf saudara-saudara, saya terpaksa melakukan ini, kalian telah melihat sendiri bahwa toko telah disita polisi, jadi saya tidak mungkin mempekerjakan kalian lagi.” Ucap Pak Rudi datar namun terlihat penuh penyesalan.
Sudah kuduga bahwa hari ini, setelah toko disegel, aku akan dipecat. Aku dipecat tanpa pesangon. Sepeserpun. Menyakitkan, tapi ini kenyataan. Lelah yang selama ini bisa memberiku sesuap nasi kini tak bisa kuulangi lagi. Aku tak tahu cara mengatakan semua ini pada Mas Hendro. Tapi ini harus kukatakan.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan kini. Mas Hendro telah kehilangan tangan kirinya, dan kini aku kehilangan pekerjaan. Langkahku gontai dan matahari menyengat sambil mencibirkan bibirnya, seolah dia menertawakan nasibku.
“Tidak, aku tidak boleh pasrah dengan kehidupan. Besok aku akan mencari pekerjaan yang baru. Demi Mas Hendro. Demi Bintang.” Semangat yang tinggal sisa berhasil kukumpulkan. “Siang, Mas.” Sapaku pada suami yang sedang menyuapi anakku.
“Siang. Loh, kok kamu sudah pulang?” Mas Hendro tampak bingung
“Maafkan aku, Mas. Aku diberhentikan dari pekerjaan. Toko tempat aku bekerja disegel polisi, dan pemilik toko memberhentikan semua karyawan. Tanpa pesangon.” Meski berat, keluar juga kalimat buruk itu.
“Apa? Kamu serius? Lalu bagaimana dengan….” Mas Hendro tampak ragu dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kata-katanya.
Sudah kuduga, bahwa Mas Hendro mempunyai kekhawatiran yang sama denganku. Kami takut esok tak akan ada hidangan makan pagi, makan siang, dan makan malam. Kami takut tak bisa bertahan hidup. Sesuap nasi dan sepotong lauk yang masih bisa kami nikmati hingga kini adalah hasil kerja kerasku di toko. Kini setelah aku diPHK, apalagi yang bisa kami andalkan?
“Mas Hendro tenang saja, besok pagi-pagi sekali aku akan melamar pekerjaan. Dimana saja, Mas. Apa saja.” Aku berusaha menenangkan Mas Hendro, dan sepertinya dia paham sehingga dia mengatur roman mukanya agar terlihat tenang.
“Iya, semoga kamu berhasil.” Mas Hendro meninggalkanku.
Malam telah datang, begitu panjang. Ia pergi setelah mentari memaksanya dengan pagi. Mas Hendro yang biasanya sudah menyiapkan makanan kulihat masih terbuai dalam mimpi. Barangkali Mas Hendro sedang mimpi menjadi orang terkaya di Indonesia. Dugaan itulah yang membuatku enggan membangunkannya. Pada pagi seperti ini, empat tahun yang lalu, pembantu rumah yang berjumlah tiga orang sudah menyiapkan sarapan untukku dan suami tercinta. Sopir pribadi telah siap dengan Lanxer B 8275 OB warna merah di depan rumah mewahku. Kini, di ruang tamu yang merangkap fungsi sebagai ruang keluarga dan ruang makan, televisi berukuran 14inci yang masih tersisa, dulu televisi ini kami letakkan di kamar pembantu. Aku tetap harus bersyukur masih diberi kesempatan melihat dan memiliki barang elektronik ini.
“Mas, sekarang sudah jam sembilan lho, Mas nggak bangun dulu? Mandi atau mau sarapan dulu?” bisikku di telinga Mas Hendro.
“Memangnya ada yang masih bisa kita makan hari ini? Memangnya masih punya uang untuk membeli beras?” jawab suamiku kasar.
Ini pertama kali suami yang terkenal bijaksana itu membentakku. Aku tahu dia tidak bermaksud begitu. Dia pasti mentah oleh keadaan. Dia tidak bisa menahan diri. Rentetan pertanyaan yang dia ucapkan adalah gambaran kekhawatirannya menghadapi hidup. Kucoba tenangkan diri dengan menghidupkan televisi.
“Ah, lagi-lagi berita pembunuhan.” Aku mencoba mangalihkan perhatian tapi berita itu terdengar menarik dan mempengaruhi pikiranku.
Tak kusadari benar setan ataukah bisikan nurani yang mempengaruhi tindakan bodohku saat itu. Aku sudah tidak bisa melihat lagi birunya langit dan terangnya mentari, yang kulihat hanyalah gelap yang menyergap. Sisa uang yang hanya tinggal selembar dua puluh ribuan segera kuambil dan bergegas aku pergi sebelum suami dan anakku terbangun. Ini kuanggap akan menyelesaikan semua, akan mengakhiri penderitaan yang panjang. Logika dan norma kusimpan rapat-rapat dalam peti nurani.
“Mas, ayo bangun, minum dulu kopinya. Dan tolong minumkan air gula ini pada Bintang. Dia pasti sangat haus.” Ucapku pada Mas Hendro setelah pulang dari toko.
Tanpa pikir panjang, Mas Hendro menenggak kopi dan memberi Bintang air gula yang sudah kucampur dengan obat serangga. Aku tahu bahkan sangat tahu, bahwa perbuatanku ini terkutuk, tapi aku tak peduli. Kurasa ini yang terbaik bagi kami. Mas Hendro tidak perlu lagi menderita karena tubuhnya yang cacat. Bintang tak perlu lagi menjalani hidup sebagai anak yang lahir di keluarga miskin yang tidak pernah mampu memberinya hidup layak. Aku, tidak perlu lagi memeras keringat.
Kampung menjadi gempar, dan sudah kuduga semua warga akan menuduhku melakukan semua ini. Warga segera melapor ke kantor polisi terdekat, dan selang lima belas menit satu mobil patroli datang berisikan lima anggota satuan reskrim. Polisi-polisi tampan itu segera membawa jenasah suami dan anakku yang telah kubunuh. Pembunuhan adalah dosa, tapi bagiku lebih berdosa lagi melihat suami dan anakku hidup dalam kemiskinan.
Kasus ini tak membuat para polisi kesulitan karena aku segera mengakui semua yang telah kulakukan.
“Bu, apa ibu sudah tidak punya hati nurani ketika melakukan semua ini? Anggap saja pertanyaan ini tidak datang dari seorang polisi. Saya bertanya sebagai manusia biasa.” Tanya komandan satuan reskrim tempat aku ditahan.
“Pak, nurani saya mati ketika melihat suami dan anak saya selalu menderita karena kemiskinan. Jika saja saya adalah seorang bhayangkari dari suami yang menjabat komandan satuan reskrim berpangkat ajun komisaris besar polisi seperti bapak, saya tidak akan mungkin melakukan semua ini. Saya tidak akan merasa miskin dan anak-anak saya tidak akan menderita. Sampai kapanpun, orang yang jauh dari predikat miskin seperti bapak tidak akan mengerti dengan sikap saya.” Jawaban itu kulontarkan dan kuharap polisi yang ada dihadapanku akan memaklumi, meski kutahu itu sulit.
“Apapun alasan yang Anda beri, Anda akan tetap terjerat pasal.” Polisi berwajah tampan itu seperti ingin meyakinkan bahwa perbuatanku salah dan akan membuatku menderita.
“Saya siap, Pak. Sekalipun jerat tali gantungan yang akan menghukum, saya siap. Yang penting saya tidak lagi melihat penderitaan suami dan anak saya. Karena mereka segalanya untuk saya.” Aku sudah mulai berkunang-kunang dan kuminta polisi menghentikan rentetan pertanyaan yang hanya membuatku muak.
Pagi telah datang setelah malam yang kian panjang kulewati bersama para tahanan lain. Hari ini sidang pertamaku akan digelar. Tidak ada pengacara ataupun saksi pembela. Aku tidak sanggup dan tidak mampu menghadirkan mereka. Kurasa tidak ada orang yang mau mengerti alasanku, bahkan berlindung pada Tuhan saja aku sudah tidak berani. Aku yakin Tuhan pasti marah. Biarlah, karena dijerat dengan hukuman apapun aku siap. Senyum yang sudah berat ini coba kulebarkan, tapi sia-sia.
“Maafkan istrimu ini, Mas. Maafkan ibu, Bintang.” Ribuan kukang-kunang kurasai menyerang dan semua gelap.

PUISI KARYAKU

SAJAK
Karya: Titin Yulianti P



Menatap fragmen terkepung picik
Tampak raut pantulan tanah
Melahap kering teriaki dalih
Terasa nyeri hentakan asap

Entah dimulai sejak kapan…
Jiwaku bergaun ramping
Terlalu sesak menampung rasa
Mata retinaku menangkap cahaya dalam percik
Rasa dan asaku memaksa bunga mengatup
Semua sayup, sendu, lirih

Lupa hangat rasa
Fana mencicip rasa

Inikah sajak cinta yang telah mereka prosakan?
Aku seperti jauh dari bahasa
Sastra seperti takut padaku

Entah dimulai sejak kapan…
Seminggu atau sewindu

Kutelagakan bening alir
Agar kita tetap tertawa
Agar cinta kita rasa

Ketika harus aku sajakkan prosa cinta
Aku merenung pada rasaku
Aku menatap pada ragaku
Satu

Sajak tak menjadi prosa karena cinta tak kurasa

(Bantul, 18 Juli 2006)


SEMUA MERASA

Semua yang bernyawa merasa
Terbang melayang di bawah pelupuk surya
Semua yang mengenal merasa
Tersanjung terbuai dalam perasaan maya
Merasa di bawah surya maya

Aku ikut merasa dan merasa ikut
Itu semua karena bernyawanya aku
Dia… Pria itu… Siang itu
Telah memberiku nyawa
Tak kusangka nyawa itu menghidupiku

Tapi… Aku heran kenapa dia juga
Memberi nyawa terang hingga semua merasa
Kenapa tak berikan nyawa berasa padaku saja
Padaku saja hingga hanya aku yang bernyawa
Aku benci…aku ingin menepis rasa semua rasa

Aku ingin nyanyian itu hanya rasaku
Puisi dan sajak itu untukku
Meski aku dan semua tak benar di pelupuk surya
Surya itu begitu jauh dari nyawaku
Nyawa itu hanya satu
Satu… begitu kecil dan pendek
Mana bisa sampai ke surya yang jauh
Begitu jauh tinggi dan tuli

Pria… surya… dia jauh dan tuli
Andai dia tak tuli, jika dia anjing
Alangkah besar nyawaku untukknya
Aku bisa berteriak dan menebar aroma jiwa
Dan jika dia anjing aku akan senang
Dia pasti bisa tahu arti nyawa yang
Dia berikan itu buatku.


Ruang 308 PBSI UAD
Senin, 20 Des 2004




ANYIR
Karya: Titin Yulianti P

Lepas hempas nafas panas
Semua usai sebelum selesai
Teriak retak beriak hentak
Semua padam sebelum malam

Ketika kandil percik
Ketika bayu melagu
Mayapada bersaksi
Jagadraya peduli
Sinaran bersaing tujuh purnama
Berlalu…

Kini…
Bumi menjerit
Ombak teriak
Keping bersaing
Debu menggebu
Kini…

Puluhan bahkan ratusan jiwa kini rusak harap dan meratap
Ratusan bahkan ribuan atap kini tak tertatap
Ribuan bahkan jutaan imaji kini tersaji dalam api

Dimulai kini
Dan aku hanya bisa menatap dan bernyanyi dalam syairku
Syair kugubah menjadi darah
Darah kualir sampai anyir
Anyir kubujuk menusuk rongga penguasa

Mulai kini hingga mereka merasa



PANGERAN DAN ISTANA BUNGA

Hari ini hatiku kembali berbunga
Semua yang kulakukan terasa indah
Semua yang kulihat berbunga
Bahkan saat aku berjalan aku merasa menginjak mawar
Lembut tak berduri
Aku merasa rumahku ini istana bunga
Tembokku adalah rajutan anggrek berwarna putih
Lantaiku adalah mawar merah yang mekar merona
Dan tenpat tidurku adalah melati putih yang harum sepanjang masa

Aku merasa menjadi putri dalam istana bungaku
Istana yang di dalamnya tinggal seorang putri
Bersama sang pangeran
Oh… bunga… oh… pangeran…
Pangeran
Kau sungguh tampan
Kau mengindahkan istanaku dan semua yang keluar dari mulutmu adalah sabda
Sabda yang kuingat saat aku mulai merajut
Mimpi dalam harum istanaku

Pangeran hariku indah karenamu
Kau beri warna
Kau beri rasa
Kau beri aroma dalam bunga pembuat istana

Jubahmu sungguh indah
Memang kau lebih indah karenanya
Tapi itu bukan sumber indahmu, itu tak seindah sabdamu
Tapi pangeran, itu sumber cintaku
Cintaku bersemi karena itu, karena jubahmu
Tapi pangeran, aku mencintaimu bukan karena itu
Karena kau lebih indah dari jubahmu


“Depan Hall UAD”
30 Maret 2005




SAYUP SENJA
Karya: Titin Yulianti P

Sore itu seorang gadis berjalan
Dalam remang dan sayup senja
Kaki kurus itu basah dan dingin
Terpercik air tangisan langit

Sore itu dia berjalan dalam tiup angin berisik
Perasaan tak rela itu dia kubur dalam, demi sesuatu
Tak tentu memang, tapi harus jika ia masih tentu
Matahari tak berlangit, panas memang tapi buruk

Dalam percik gerimis yang deras lebih dari ombak
Di bawah bulatan pelindung yang goncang karena angin
Dia berjalan ke sana kemari mencari sesuap tak enak
Mencari demi mencari kebaktian pada bunda saja

Dalam selimut badai tubuh kurus itu basah dan hampir jatuh
Dia tak pernah tahu arti sesuatu bahan itu untuk bundanya
Padahal dalam istananya banyak yang lebih berharga
Tapi mengapa dia harus berjalan dalam dingin dan basah
Dalam rintik yang mendewasakan

Dalam dingin dan basah yang sangat
Dia berkata seraya pilu “Demi kau!”


21 Desember 04




ARTI KATA CINTA
Karya: Titin Yulianti P

“Aku menggenggam terlalu banyak”
Begitu kata Gibran dalam suratnya
“Ini kali tidak ada yang mencari cinta”
Begitu kata Amir Hamzah
“Aku ini binatang jalang”
Begitu kata Chairil dalam “Akunya”

Ah… Apa pentingnya kata mereka?
Pentingkah kata yang sampai saat ini tak kumengerti itu?
Mungkin suatu saat, jiwa, pikir, dan bahkan imajiku akan mengerti!
Tapi kapan? 1 tahun, 1 windu, 1 abad…
Atau kapan?
Untuk itukah hidupku?
Ya…aku tahu Tuhan memang adil
Tapi adilkah jika otak picik ini harus pahami segala kata hasil seniman maha kata?
Adilkah? Adil?
Jika bukan karena iman yang memang harus ada itu…
Tentu saja aku takkan berkata bahwa itu adil

Kalau saja diijinkan, ingin sekali gunting bagian hati tempatnya bersemayam
Ingin sekali aku membuang sisi hati yang terjangkit virus cinta.

Ah…The power of love…cinta…
Maha dahsyat memang!
Hingga saat ini aku tak bisa sekedar mengerti, apalagi merasa…
Bukankah itu wajar?
Cinta memang lebih rumit, sulit, dan sakit dari Kalkulus, Morfologi, Statistik, dan segala macam ilmu lain…

Cinta…
Dari aku berumur satu hari, dua hari, dua puluh tahun, selalu ada.
Infotaintment, sejarah, ilmu di bangku sekolah, pejabat tinggi, kerajaan, pemerintahan, negara, selalu saja berkait dengan cinta.
Tapi kenapa aku…tak pernah tahu?
tak pernah merasa dan haus rasa…

Pentingkah cinta dalam jiwa kita?
Kurasa cinta hanya sebatas kata leksikal saja.



SECERCAH NYALA SEMPURNA
Karya: Titin Yulianti P


Merasa punya arti dan kekhususan
Lontaran kata mungil bijak terucap dari
Bibir maha kata
Tatap sunyi tajam cekam hangat berarti dari
Mata maha tatap

Berawal dari berjuta kegelisahan,
Dan tak kusangka Belibis menjadi raja
Aku benar-benar merasa kurma surga
Manis, hingga sisa kotoranku bersemut

Awal kau berjalan meski semua mata terpejam,
Meski semua mulut penuh hardikan
Rajutan rasa anyaman jiwa terkuak
Seribu decak terlantun bersahaja
Menyusuri perawakan karya
Suatu karya yang indah, menarik, dan kadang begitu sakleg
Menderaskan kekaguman

Awal kau bicara rembulan terasa gulali
Dan angin aroma kasturi
Telinga tuli saja yang membantu lisan
Berkata kau tak berharga
Mata cacat saja yang menangkap redup
Bagiku, semua yang ada padamu nyala percik
Tapi lebih dari sinar benderang

Malam ini aku merasa kau lebih indah
Dari bulan, bumi, galaksi bimasakti, dan susunan tata surya
Saat jiwa lewat telinga tersiram kata
Sengaja

Ah…jika dunia berbisik lewat surya
Dan surya berteriak pada pasir dan angin
Akan kukabarkan bahwa bagiku
Kau rasa
Kau nyawa
Kau raga
Dan dengan ribuan keberanian kuikrarkan,
Kau cinta!
Cinta?
Ini bukan cinta!
Ini kekaguman luar biasa!
Karena di mataku kau sempurna
Secercah nyala sempurna


INI SALAHKU?
Karya: Titin Yulianti P
Apa ini salahku?
Tak adil rasanya jika kau tuduh aku
Aku tak seperti itu
Sekotak mungil berisi dunia
Tempat kita mengumbar dunia
Bahwa antara aku, kau, dan mantan pacarmu
Terbungkus dalam kotak itu

Kurasa ini salahmu
Mengajakku menari dalam telapak tangan
Yang dengan mudah terbalik
Apa ini salahku?
Ketika kita terjatuh jauh

Kau terlalu picik
Bayangkan saja jika dia tak membalik telapaknya
Apa mungkin kita bisa bertahan?
Saat dia ombang-ambingkan tangannya cipta badai

Sekuat itukah kita?
Jika ternyata pondasi yang kita bangun selama ini
Selama kaca membusuk
Dan selama teki berbuah labu
Ternyata kau letakkan pada tanah yang salah
Pada tanah empuk bekas bangkai terkubur

Apa ini salahku?
Jika sekarang pondasi itu roboh
Hanya karena
Tiupan angin yang sama sekali tak kencang
Karena hujan yang tak membasahi tanah
Karena panas yang tak mencairkan es
Hanya karena satu kibasan telapaknya

Kurasa dia yang salah

“Rumahku”
30 Maret 2005




NANTI
Karya: Titin Yulianti P

Kuerat genggam pasir dalam tangan
Erat, berat
Kusangga puing dalam perkasa
Kuat, lekat
Rapuh

Aku terkapar
Tapi aku yakin ini hanya masalah waktu
Biar jika kurma belum kurasa
Aku puasa

Lentik jemari hasratku mulai menggapai nirwana
Dan kau tahu apa yang terjadi?
Sepenggalah aku sudah terengah
Kuat setelah kusiram alir bening rasa
Lelah menyapa asa
Keruh
Jatuh

Aku terjatuh setelah kau bunuh
Hah, kupatri dalam nadi bahwa suatu saat nanti
Ketika rembulan datang siang
Ketika surya datang kelam

Semua yang tertunda akan tiba

Kapan?

Nanti!





SEINDAH BUMI
Karya: Titin Yulianti P

Tak seindah bumikah aku?
Karena di mata semua orang
Aku hanya seindah bulan yang tak punya keindahan nyata
Hanya indah di waktu malam
Saat semua orang enggan keluar rumah
Apalagi untuk sekedar menatap langit

Mengapa aku tak seindah bumi?
Begitu indah dan dibutuhkan semua orang
Selalu ada dalam pikiran semua orang
Dalam pelukan cinta semua orang, siang dan malam.
Hingga tak seorang pun berpikir untuk meninggalkanku,
Bahkan ketika mereka ingin tidur sepanjang masa
Mereka memilih tidur dalam pelukanku.

Tapi sayang…aku tak seindah bumi
Tempat segala kesenangan duniawi dan sumber kehidupan manusia ditawarkan
Tapi aku hanya seindah bulan
Yang tak pernah diperhatikan dan dibutuhkan oleh manusia
Karena tanpa bulan nyawa, cinta, dan suara mereka tetap ada

Aksi Tanam Sepuluh Pohon

Sebuah drama singkat oleh Titin Prawesti

PEMERAN
1. RENDRA : Ketua OSIS.
2. HANIK : Sekretaris OSIS.
3. VITRI : Bendahara OSIS.
4. ELLYA : Anggota OSIS.
5. RINDU : Anggota OSIS
6. BU IDAWATI : Guru pembina OSIS.

Drama ini menceritakan beberapa siswa SMA Pejambon yang tergabung dalam OSIS. Mereka ingin mengadakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak dan menekan proses pemanasan global. Kegiatan ini mereka beri nama “aksi tanam seribu pohon”. Mereka mengalami kesulitan merealisasikan kegiatan ini karena terbentur masalah dana. Pihak sekolah sulit dimintai dana sehingga Rendra, si ketua OSIS naik darah, dia bingung. Semua anggota OSIS yang dalam drama ini diperankan oleh lima orang, sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakuka. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi, diselingi dengan kepolosan tokoh Vitri yang membuat Rendra dan kawan-kawannya semakin naik darah. Klimaksnya adalah ketika terjadi perdebatan antara Rendra dan teman-temannya di depan Bu Idawati, juga saat Rendra membantah pernyataan Bu Idawati. Akhir drama ini adalah kekecawaan anggota OSIS terhadap Bu Idawati yang ternyata tidak tahu persis pentingnya pohon bagi penekanan proses pemanasan global.

Panggung adalah ruangan berisi sebuah meja dan dua buah kursi. Panggung dimaksudkan sebagai sebuah markas OSIS suatu SMA di sebuah desa tertinggal. Lampu panggung tampak terang. Rendra, seorang siswa kelas XI SMA Pejambon, berseragam sekolah, menyandang sebuah ransel di lengan kanannya, tampak melangkah lemas memasuki panggung. Lelah dan kecewa. Duduk di kursi dan menaruh ransel di sampingnya. Ia tertunduk lesu dan kemudian mengangkat wajahnya.

RENDRA : Apa jadinya dunia ini tanpa matahari? (MEMEGANG KENING DAN MELIHAT KE ATAS) Apa jadinya pula kalau dunia ini punya dua, tiga, empat, atau sepuluh matahari? (MENGAMBIL KIPAS DARI DALAM TAS, LALU MENGIPASI WAJAH DAN BAGIAN KEPALANYA)
Kipas ini selalu menemaniku kemana saja aku pergi. Mungkin kalau sekolahku ini adalah sekolah para anak pejabat, akan dipasang AC di setiap ruangan. (BERJALAN KE ARAH TENGAH)
Sayang sekali aku bersekolah di tempat yang biasa saja. Di desa kecil lagi. Eh…eh…desa saja panas begini, apalagi kota. Ah tidak, tidak. Di kota ada AC.

HANIK : Assalamualaikum, Ren! (HANIK MASUK RUANGAN, MEMBAWA PROPOSAL KEGIATAN DAN SOFT DRINK. DUDUK)

RENDRA : Wa’alaikumsalam. Enak ya panas-panas gini minum soft drink. Bagi dong! (MENGAMBIL SOFT DRINK DARI TANGAN HANIK. MINUM)

HANIK :Ren, ren, kamu memang tidak pernah berubah. Selalu saja tidak sopan, merebut barang orang dengan paksa. (MENGELUARKAN PROPOSAL) Ren, cobalah kau periksa proposal kita. Tadi malam aku sudah berhasil mengerjakannya, ya…tentu saja dengan bantuan temanku yang sekolah di SMA SMASE. Eh, tau ga…

RENDRA : Apa? Kamu mau bilang temanmu itu ganteng? Pintar? Beda dengan cowok yang laen? Ayo bilang! Aku sudah tau arah pembicaraanmu. Dan kalimat terakhirmu pasti…aku mau lho seandainya dia nembak aku! Gitu kan??? (MELETAKKAN MINUMAN DAN MENGAMBIL PROPOSAL)

HANIK : Hei…hallo…kamu ga papa kan? Kamu kenapa seh? Cemburu? Ha ha ha. Atau marah karena kubilang kamu ga sopan? (CENTIL)

RENDRA : Enggak, aku ga papa. Makin hari omonganmu makin nonjok. Eh, kapan kita mau ngajuin ni proposal?

HANIK : (SENYUM) Memangnya kamu sudah setuju dengan isi proposal itu? Ya…kalau kamu sudah setuju, kita bikin rapat, kita undang semua anggota OSIS. Kalau perlu, guru dan karyawan. Tapi…sebelum itu, kita berdua harus menyamakan persepsi.

RENDRA : (SINIS) Alah, sudahlah, yang penting kita ajukan saja proposal ini, ga usah pake rapat. Pokoknya, kita buat panitia boongan aja. Aku dah capek. Lagian persepsi, kita tidak akan sama. Otak kita beda. Kalau sama, tentunya dah lama kita jadian!

HANIK : Ren, kamu ga boleh gitu dong. Profesional dikit kenapa seh! Aku tau kamu capek jadi ketua OSIS, tapi kamu harus inget, kamu tu terikat kontrak, sebelum satu tahun, kamu ga boleh mundur. Kamu harus tep ngejalanin tugasmu. Sampai periode kepengurusan kita habis.

RENDRA : Aku sudah lama menganggap kepengurusan kita berakhir.. Kamu pikir enak, punya jabatan tapi tidak pernah dihargai? (MEMBENTAK. BERDIRI. MENGGEBRAK MEJA)

HANIK : (BERDIRI) Kamu pikir enak, jadi sekretaris seorang ketua yang tidak bertanggung jawab? Aku juga capek, aku juga merasakan apa yang kamu rasa. Kecewa, merasa tidak dihargai, aku juga rasakan hal yang sama, Ren! Dan asal kamu tahu, proposal-proposal kita yang lalu selalu ditolak bukan karena jelek. Tapi…

RENDRA : Tapi karena terlalu banyak serigala berbulu domba di sini. Terlalu banyak orang yang lebih memilih makan dengan mengambil beras dari gudang tetangga. Kepala sekolah, guru, dan semua isi sekolah ini sudah ikut memanas rupanya. Otak mereka sudah mencair dan mengalir melalui lubang telinga. Bu Idawati, beliau harapan kita satu-satunya.

HANIK : Sudahlah, Ren!

(VITRI, BENDAHARA OSIS BERBADAN KURUS, AGAK HITAM DATANG DENGAN NAFAS TERSENGAL-SENGAL)

VITRI : Ren, ada kabar gembira, tadi ga sengaja aku lewat depan ruang kepala sekolah. Ada rapat di sana. Kalau aku tidak salah dengar, sekolah kita dapat bantuan dana dua puluh lima juta dari pemerintah pusat. Dan aku yakin proposal kegiatan pencegahan pemanasan global yang kita buat akan diterima. Dana mengucur, dan kegiatan kita….

RENDRA : Diam!!! Kamu mendengar ada bantuan dana itu mungkin memang benar, tapi kurasa keyakinanmu bahwa proposal akan diterima itu mustahil.

VITRI : Enggak, Ren! Aku yakin akan diterima. Han, panggil Rindu dan Ellya.

HANIK : (BERDIRI DAN MENINGGALKAN RUANGAN) Baiklah, daripada di sini, efek pemanasan global yang tadinya hanya sedikit terasa, sekarang menjadi dua kali lipat saat ketua kita sedang marah.

RENDRA : He, kalau kamu tidak suka aku di sini, aku bisa pergi. (MENUNJUK KE ARAH HANIK)

VITRI : Sudah. Hari ini juga, kita undang kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan Bu Idawati untuk membahas rencana kegiatan aksi tanam sejuta pohon. Ya…kalau dirasa terlalu banyak ya jangan seribulah. 10 kurasa cukup.

RENDRA : Ya Tuhaaan! Dosa apa aku ini, punya teman kerja ga da yang beres! Seribu itu kan cuma namanya, kenyataannya satu saja belum tentu bisa, Vit. Ya sudah, sekarang juga kamu undang mereka atau kita yang datang kekantor guru?

VITRI : Tidak, mereka saja yang kita undang ke sini. Kurasa ga masalah. (PERGI MENINGGALKAN RUANGAN, DISUSUL RENDRA)

Ruangan kosong.
Sepi.
Semua anggota OSIS sibuk mempersiapkan kegiatan aksi tanam sejuta pohon yang dimaksudkan untuk mengurangi proses pemenasan global. Setidaknya untuk mengurangi dampaknya di lingkungan sekolah mereka.
Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB, waktu yang seharusnya diisi dengan pelajaran, tapi habis untuk mempersiapkan aksi
yang entah kapan baru bisa terealisasi.

(HANIK, RINDU, ELLYA MASUK RUANGAN)

ELLYA : HE…kemana ketua kita yang kerjanya marah-marah tu? Kok kosong? (MELIHAT-LIHAT KE SEKELILING RUANGAN)

RINDU : Iya ne, gangguin orang belajar aja. Udah lah, ayo El, kita balik ke kelas aja. Pemanasan global, otakku juga dah panas kok mikir ulangan Matematika tadi. (MENUJU PINTU KELUAR)

ELLYA : Eh eh eh, tunggu dong, Rin! Kok sewot seh? Kalau semua orang yang ada disini sewot, bukan hanya pemanasan global yang bakal kita rasa, tapi pemanasan lokal pada otak kita. (TERTAWA) Hehe, ya kan?

RINDU : Semua memang dah panas. Huh… (DUDUK)

HANIK : El, Rin, kalian harus bantu aku. Waktu kita menghadap kepala sekolah nanti, aku harus bisa mempersiapkan kata yang mujarab biar proposal kita goal. Gini, pura-puranya kalian jadi guru ya! (MEMBENAHI POSISI DUDUK) Pak, kami akan mengadakan aksi tanam seribu pohon di lingkungan sekolah kita, untuk mengurangi proses dan dampak pemanasan global yang membuat kita tidak nyaman.

RINDU : Kegiatan itu tidak perlu dilakukan, panas kan bisa pake kipas, lagian sekolah kita tidak punya dana.

HANIK : Tapi, Pak. Bukankah sekolah kita baru saja mendapat bantuan dana dari pemerintah pusat.

ELLYA : Heh, lancang sekali kamu. Dana itu akan digunakan untuk membangun fasilitas sekolah yang lebih penting.

HANIK + RINDU + ELLYA : Ha ha ha……

VITRI MASUK BERSAMA BU IDAWATI)

VITRI : Mari, Bu. Silahkan masuk.

HANIK : Silahkan duduk, Bu! (BERDIRI DAN MEMPERSILAHKAN BU IDAWATI DUDUK DIKURSI YANG SEMULA IA TEMPATI)

BU IDAWATI : Ya, makasih ya. (DUDUK) Bagaimana, sampai dimana kalian mempersiapkan kegiatan pencegahan pemanasan global yang sering sekali dibahas di media masa itu?

RINDU : Ah…masih berkutat di proposal, Bu. (SINIS)

ELLYA : Ssst (MENYENGGOL BAHU RINDU)

HANIK : Itulah, Bu, kami mengundang Ibu kemari untuk membahas rencana kami tentang kegiatan yang kami anggap positif itu.

BU IDAWATI : Ya, kalau begitu, silahkan kalian utarakan apa yang kalian inginkan, dan saya akan bantu sebisa saya. Tapi, ibu rasa, perundingan ini akan hambar tanpa Rendra. Dimana anak itu?

VITRI : Anu….emmm, dia sedang menggandakan proposal, Bu. Sebentar, biar saya telepon dia. (BERJALAN KE BAGIAN KANAN PANGGUNG DAN BERPURA-PURA MENELEPON RENDRA) Gimana, o…udah, y dah cepet kesini, dah ditunggu Bu Idawati. (KEMBALI KE TEMPAT SEMULA)

BU IDAWATI : Kita tunggu Rendra atau mulai sekarang.

VITRI : Dimulai sekarang saja. Tapi, maaf, saya minta ijin sebentar ke belakang. (MENDEKATI HANIK. BERBISIK) Han, kamu handle dulu ya. Aku mau cari Rendra, dia marah tadi. Oke!

HANIK : Tapi…(BINGUNG)

VITRI : Sudahlah…kamu pasti bisa. Jangan lupakan tujuan awal kita, mengurangi dampak pemanasan global dengan aksi tanam seribu pohon. Ya…kalau memang susah, sepuluh cukup lah! (KELUAR)

BU IDAWATI : He…ada apa dengan kalian berdua? Jadi ga acaranya?

HANIK : Begini, Bu. Seperti yang sudah Ibu ketahui, kami akan mengadakan kegiatan aksi tanam seribu pohon sebagai salah satu cara mengurangi dampak dan menekan proses pemanasan global.

BU IDAWATI : Saya mau tanya, apa yang kalian pahami tentang pemanasan global?
ELLYA : Kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer laut dan daratan bumi. sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca.
RINDU : Pemanasan global berdampak terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. Itulah alasan dasar kami ingin mengadakan kegiatan ini, Bu.
HANIK : Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang mudah dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
BU IDAWATI : Ibu tidak menyangka, kalian sepandai ini, dan mempunyai niat mulia dengan berniat mengadakan kegiatan itu.
(RENDRA DAN VITRI MASUK)
RENDRA : Ya…niat kami memang mulia, tapi sedikit sekali yang menyadarinya. Dan dari sedikit orang itu, tidak ada yang bisa membantu kami.
BU IDAWATI : Rendra, kamu bicara apa, Nak? (DATAR) Tentu saja Ibu akan membantu kalian.
RENDRA : Dengan apa, Bu? Semangat? Yang kami butuhkan uang.
ELLYA : Ren, jaga mulut kamu! Bu Idawati pasti akan membantu kita.
RENDRA : Aku tahu, de… ngan… se… ma… ngat! Yang mungkin saja sekarang sudah mulai luntur.
RINDU : (MENAMPAR RENDRA) kalau kamu tidak bisa berunding dengan sopan, lebih baik kamu keluar. Kalau kamu tidak mau keluar, aku yang akan keluar.
RENDRA : Kau tahu apa tentang perundingan?
RINDU : Aku memang tidak tahu banyak tentang perundingan. Tapi aku sangat mengenal sopan santun. Permisi! (KELUAR)
ELLYA : Kamu keterlaluan, Ren! (KELUAR)
BU IDAWATI : O…Jadi selama ini, ini yang kalian lakukan di markas? Pantas saja semua kegiatan kalian selalu gagal. Ren, sebagai ketua, kamu harus bijaksana. Ibu akan bantu kamu
RENDRA : Jadi ibu menyalahkan saya?
HANIK : Tidak ada yang salah dalam hal ini. Bahkan ketika dana tidak mungkin turun pun tetap tidak ada yang bisa disalahkan.
VITRI : Bu, kami berniat meminta bantuan dana dari pihak sekolah untuk membeli beberapa pohon untuk kegiatan kami. Ya…kalau dirasa memberatkan tidak perlu seribu lah, sepuluh cukup. Dan kami akan ganti nama aksi kami menjadi aksi tanam sepuluh pohon.
RENDRA : He bodoh, kamu tidak mengerti juga, aksi tanam seribu pohon itu kan cuma nama, yang ditanam tentu tidak seribu (MEMEGANG KEPALA)
BU IDAWATI : (TERSENYUM) ya…ibu sudah tahu gambaran kalian. Tapi, Ren, seperti yang kamu ketahui, dana dari sekolah tidak mungkin turun. Kita harus cari cara lain.
RENDRA : Maksud Ibu?
BU IDAWATI : Ya, kita buat acara penggalangan dana. Konser musik misalnya, atau pentas teater. Kalian yang main dan kita suruh penonton membeli tiket. Gimana?
VITRI : Ide yang cemerlang!!!
HANIK : Kita akan adakan di halaman depan sekolah.
RENDRA : Uang hasil penjualan tiket akan kita gunakan untuk membeli pohon. Pentas tidak perlu mewah, kita pinjam panggung dari persewaan ayahku. Tidah perlu bayar. Ya…terimakasih ya, Bu!
BU IDAWATI : Ya, Ibu akan selalu berusaha berikan yang terbaik untuk kalian dan untuk aksi pengurangan dampak dan penekanan proses pemanasan global itu.
(SEMUA TERTAWA)
RENDRA : Tunggu, tapi ditengah halaman sekolah kita ada pohon Akasia yang ukurannya cukup besar. Pohon itu akan mengganggu penonton saat melihat panggung.
(SEMUA DIAM)
BU IDAWATI : Ibu ada ide. Kita tebang saja pohon itu, biar penonton semakin bebas melihat panggung.
RENDRA VITRI HANIK : APA??????????
RENDRA : Ya Allah….
Layar ditutup.
Selesai

Selasa, 19 Mei 2009

cinta sejatikah??? entahlah...

ada beberapa kata yg puf...cukup membuat kenangan bangkit dan memaksa air mata mengalir... simak y...

* Sebenarnya orang yg Anda cinta dan Anda dambakan belum dapat menerima kehadiran Anda, dan dia sebenarnya untuk saat ini belum membuka hatinya untuk perempuan manapun. karena, sebelum menjalin hubungan dengan Anda, dia pernah disakiti oleh orang yg sangat dicintainya, sehingga merubah pola pikirnya. maka, untuk membangun cinta baru, dia masih bimbang dan ragu. maka dari itu, ia lebih memilih untuk berpisah, ia tidak mau sakit untuk yang kedua kalinya.

* Buat apa mengenal orang kalau belum bisa mengenal dirimu. Buat apa merangkai mutiara kalau belum ada lambangnya. Buat apa mengharapkan bulan bersinar sedag bulan tertutup awan. Buat apa mengemudi kapal kalau tidak tau tempat berlabuh. Cinta Anda tulus bukan berarti harapan, tetapi cinta bagai permainan, yang kita tidak dapat menentukan kalah menang.

* janganlah kamu memandang cinta bagai tetesan air yg menerpa batu, sehingga batu itu dapat luluh. Cinta tidak demikian. cinta bagai jari dan cincin. sebuah cincin jika terlalu kecil atau terlalu besar maka apapun yg terjadi, tidak akan bisa masuk dan pas.

* Kehidupan cinta tidak semudah yg engkau bayangkan. Janganlah dirimu hanya terpaku pada satu jari. Tetapi masih banyak jari-jari yg lain untuk menerima cincinmu.

* Kisah cintamu seperti ketika kamu melihat gunung yang sangat tinggi dan kamu ingin menggapai puncaknya, tapi gunung itu licin dan terjal. Kau daki gunung itu dengan merangkak dan belum tentu dapat mencapai puncaknya.

*Walau punya niat untuk menggapai puncaknya, sewaktu kau merangkak, tiba-tiba batu besar dari atas menimpamu, kau jatuh terjerembab dan tidak bisa bangkit lagi.

Omong kosong yg buat saya maknanya cukup dalam...

naskah drama "Jerit Muram Pelangi Taman"

SEBUAH DRAMA SUREALIS YANG MENGISAHKAN JERITAN HATI PARA PENGHUNI TAMAN ATAS KONDISI BUMI YANG DIRASA SEMAKIN TIDAK NYAMAN. POHON DAN RUMPUT YANG BERADA DI TAMAN MERASA TIDAK NYAMAN DENGAN HABITAT MEREKA. PERTENGKARAN, PERDEBATAN, DAN BERBAGAI SOLUSI DIBAHAS DALAM DRAMA INI, MESKIPUN SEMUA YANG MEREKA PERDEBATKAN AKHIRNYA BERUJUNG KEMATIAN. ULAH MANUSIALAH SEBENARNYA YANG MENJADI KUNCI ATAS SEMUA YANG MEREKA PERDEBATKAN. TIDAK BANYAK YANG BISA DILAKUKAN SELAIN PASRAH DENGAN KEMATIAN.

TOKOH:
1. POHON 1 : Panik.
2. POHON 2 : Pemarah
3. POHON 3 : Tenang.
4. POHON 4 : Mudah percaya. (Kaktus. Berduri)
5. POHON 5 : Mudah percaya. (Kaktus. Berduri)
6. RUMPUT 1 : Sabar.
7. RUMPUT 2 : Centil. Angkuh. Cantik
8. MANUSIA : Centil. Periang. Sombong. Tidak memikirkan orang lain


Pohon 1 : Tempatku di mana? (MASUK PANGGUNG SAMBIL BERLARI MENGITARI PANGGUNG. BINGUNG. PANIK. TERIAK. JATUH) Di mana??? Di-ma-na? (MENUNDUK)
Pohon 2 : Di situ. Di situ. (TERIAK. BELUM MASUK PANGGUNG)
Kau dengar? Di-si-tu! Hey tuli…kau dengar aku?
Pohon 1 : (TERKEJUT. MELIHAT KE SEKELILING) Hey! Siapa itu? Ada yang tahu?
Pohon 2 : Aku yang tahu! (KELUAR. GAGAH)
Pohon 1 : Kau?? (MENGITARI POHON 2) Kau tahu?
Pohon 2 : Ya. Aku tahu!
Pohon 1 : Kau???
Pohon 2 : Iya…
Pohon 1 : Kau?
Pohon 2 : Iya!!! (MARAH. MEMBENTAK. JATUH. JONGKOK DI SAMPING 1) Meski aku sendiri tak pernah tahu tempat yang nyama untukku!
Pohon 1 : Hey! Kau menangis? Kau bilang kau tahu tempat untukku, tapi tak tahu tempat yang nyaman? (BINGUNG. NADA BICARA TINGGI)
Pohon 2 : (TERTUNDUK. SEDIH. DIAM. TAK MEMPERTIMBANGKAN TINGKAH 1)
Pohon 1 : Hey...
Pohon 2 : Sudahlah, jangan kau tujukan sapaan, pertanyaan, dan ketidakmengertianmu itu padaku! Aku tidak... (MENANGIS) Aku... (BERLARI) Nah...tanyakan padanya! (MENUNJUK MANUSIA)
Manusia : (MASUK PANGGUNG. BERNYANYI)
Pohon 1 : Dia?
Pohon 2 : Ya! Kenapa?
Manusia : (DUDUK. BERFANTASI TENTANG KEINDAHAN)
Pohon 1 : Tunggu! (MENCEGAH POHON 2 YANG HENDAK MENDEKATI MANUSIA) Dia tuli!
Pohon 2 : Ha? Tidak! Bagaimana mungkin dia tuli? Kemarin kulihat dia sedang bercakap-cakap dengan orang lain!
Pohon 1 : Tuli!
Pohon 2 : Tidak!
Manusia : Hey bunga-bunga...apa kalian tahu? Sebentar lagi aku akan punya swimming pool! Kalian tahu? Kolam renang!

Pohon 2 : Nah, dengarlah, dia mengajak kita bicara! Ayo, ini kesempatan kita untuk menanyakan hal yang selama ini tak pernah bisa kita jawab!
Pohon 1 : (ENGGAN) Apa tidak sebaiknya kita musyawarahkan sekali lagi?
Pohon 2 : Ah... Sudahlah, kita tanya saja padanya!
Manusia : Hari ini aku akan mulai membersihkan taman ini, em... berarti aku harus panggil penebang pohon... Ah... senangnya! Satu bulan lagi teman-teman di sekolahku akan semakin yakin kalau aku ini anak orang kaya. Hem... pemilik kolam renang ketiga setelah Dhea dan Cesa...
Pohon 1 dan 2 : (BINGUNG)
Pohon 1 : Tebang?
Pohon 2 : Pohon?
Pohon 1 dan 2 : Dia akan menebang saudara kita?
Pohon 2 : (MENANGIS KECIL) Hancur harapan kita... Apa lagi yang...
Manusia : (BERLARI KECIL. BAHAGIA. MENABRAK POHON 2) Ups... belum kucabut, sudah patah...na...na...na...(KELUAR)
Pohon 1 : Hey... kau mati? Mati? Hey... temanku mati...aku sendiri sekarang...(MEMELUK)
Pohon 2 : Tolong bangunkan aku!
Pohon 1 : Kau masih hidup? Hey... temanku ternyata masih hidup...
Pohon 2 : Sudahlah! Hentikan teriakan bodohmu itu! Percuma kau teriak-teriak seperti itu! Tidak akan ada telinga yang mau mendengarmu. (TERIAK. MASIH LEMAH. BERUSAHA UNTUK BANGUN)
Pohon 1 : Ah... namanya usaha...(SINIS)
Pohon 2 : Usaha yang sia-sia. Sudahlah... bangunkan aku dulu!
(Pohon 1 membangunkan Pohon 2 dengan hati-hati)
Pohon 2 : Yuhu....aku masih bisa berlari, masih bisa melawan busuk dan panasnya alam ini!
Pohon 1 : Eh...ketika ada kata busuk dan panas aku jadi bingung dan panik dengan masa depan kita. Kulit kita akan kering, mengelupas, batang kita akan menjadi kayu yang keras, daun berjatuhan, dan tidak ada lagi bunga, apa lagi buah...
Pohon 2 : Ya...tapi apa yang bisa kita lakukan? Manusia sekarang semakin tidak membutuhkan kehadiran kita.
(Pohon 1 dan Pohon 2 MERENUNG. DUDUK BERJAUHAN. 4 DAN 5 MUNCUL. MENARI)
Pohon 4 : Wah...di sini nyaman!
Pohon 5 : Aku akan melahirkan bunga-bungaku di sini...
Pohon 1 dan 2 : Nyaman?
Pohon 1 : Siapa kalian? Kulit kalian tidak peka? Tidak merasa panas?
Pohon 4&5 : Panas?
Pohon 5 : Justru dengan terik yang menyengatlah aku bisa hidup...
Pohon 4 : Bunga-bunga kami lahir dengan matahari...
Pohon 1 : Tapi panas yang kami maksud bukan terik dari sahabat kita itu...
Pohon 4&5 : Lalu?
Manusia : Sudah ada tumbuhan baru yang lebih tahan panas...nantinya ini akan kuletakkan di pinggir kolam...dengan panas yang semakin terik bunga2nya justru lebih bermekaran
Pohon 4&5 : Astaga, dia sengaja akan meletakkan kita pada tempat yang terik...
Pohon 2 : Hah, kalian baru sadar? kalian pikir dia tulus?
Rumput : (DARI LUAR PANGGUNG) Mereka tak pernah tulus...
pohon 4 : Berarti kami harus pergi dari sini? tak boleh hidup di sini?
Rumput : (DARI LUAR PANGGUNG)Bukan itu yang kami maksud, kami bukan ingin mengusirmu...ayolah, kita cari cara agar kita tetap dapat hidup berdampingan di sini...
Pohon 5 : Itu tugas kalian sebagai penghuni lama, kami tidak akan tinggal di sini?
Pohon 2 : Tidak akan tinggal di sini? lalu di mana?
seluruh belahan bumi sudah tidak aman?
Pohon 1 : Mau tinggal di surga?

(POHON 4 DAN 5 KELUAR PANGGUNG. BERLARI. POHON LAIN HANYA MELIHAT DENGAN EKSPRESI DATAR)

Rumput 1 : (SEMUA RUMPUT MENARI DENGAN GAYANYA MASING2, ADA YANG GEMBIRA ADA YANG SEDIH) Hey... (BERKELILING) Kami – Harus – Mati-
Rumput 2 : Ha? Mati? Enak saja kau bicara!
Rumput 1 : Enak saja? Enak! Mungkin lebih baik mati daripada tersiksa
Rumput 2 : Kau yang tersiksa...berarti kau saja yang mati (SEMUA DIAM)
Pohon 1 : Siapa mereka?
Pohon 2&3 : (BINGUNG)
Pohon 2 : Sebentar. Sabarlah kalian. Biar kulihat dulu. (MENGELILINGI RUMPUT)
Pohon 3 : Berduri?
Pohon 1 : Ada durinya?
Pohon 2 : Ssst...diam dulu (BERJALAN MENGENDAP) tidak (SEDIH)
Pohon 1 : Jadi, mereka juga akan mati bersama kita?
Pohon 2 : Ya...cepat atau lambat! Pasti!
Pohon 3 : Tidak hanya bersama kita, tapi juga bersama semua tumbuhan yang lain.
Rumput 1&2 : (BERGERAK MENDEKATI POHON 123)
Rumput 1 : Hey...mereka juga sakit!!!
Rumput 2 : Hah? Dari mana kau tahu?
Rumput 1 : Kering...kulit mereka, layu daun mereka, dan lihat...buah dan bunga mereka sama sekali tidak pantas disebut dengan buah dan bunga.
Pohon 2 : Mereka kau bilang? Apa kamu pikir bantuk tubuh kalian, warna kalian, masih layak disebut tumbuhan?
Pohon 3 : Ah...sudahlah...aku...kamu...kamu...dan...kamu...kita semua...tak layak lagi disebut penyaring udara, kita bukan lagi tumbuhan...
Rumput 2 : Aku masih merasa layak!!!
Rumput 1 : Sampai kapan?
Rumput 2 : Entahlah...yang jelas aku masih merasa layak.
Pohon 1 : Layak, panas, kering, dan mati...itulah yang akan kau alami, Cantik!
Rumput 1 : Sudahlah! Ada yang tahu tempat yang aman untuk kita?
Pohon 123 : Surga...
Rumput 1 : Surga? Di bumi ini maksudku!!!
Pohon 1 : Alah, aku sudah pernah membahasnya! Dan hasilnya, NOL!!! Tidak ada yang tahu!
Pohon 2 : Bahkan manusia yang seharusnya melindungi kita, akan menyulap tempat ini menjadi tempat yang jelas tidak aman bagi kita.
Rumput 2 : Aduh! Kenapa kau selalu bilang kita? Bukankah aku masih nampak hijau? Beda dengan kalian...dan kurasa aku masih pantas untuk hidup!
Semua : Pantas! Tapi sampai kapan???

(TIBA-TIBA SUHU MENJADI SANGAT PANAS. SEMUA MERASA KEPANASAN. TERSIKSA. PANIK.)

Semua : Inilah kesedihan kami. Inilah kemalangan kami. Inilah derita kami. Panas bumi meningkat... Panas... Bumi jadi bara... Panas... (PINGSAN)
Manusia : (MASUK PANGGUNG. TERKEJUT. GEMBIRA) Wah...bagus! Kalian memang tumbuhan yang manis! Tahu diri! Jadi...aku tak perlu memanggiltukang taman untuk memberaskan kalian. Bi... Bibi...tolong bersihkan sampah2 ini dan bakar! (MENUNGGU JAWABAN. DIAM.) Kok tidak ada jawaban? Bi!!! Ah...si bibi kemana seh? Ya udahlah, ntar aja... (MENENDANG SALAH SATU POHON. KELUAR PANGGUNG)
Pohon 3 : (SADAR. BANGUN. BINGUNG. LARI) Eh...Bangun-bangun... semuanya bangun!

(SATU PERSATU POHON DAN RUMPUT BANGUN)

Pohon 3 : Ke sinilah kalian...selagi kita masih punya waktu untuk mencari solusi atas permasalahan ini, mari kita berusaha cari (SEMUA BERKUMPUL)
Pohon 3 : Apa yang harus kita lakukan?

Rumput 1 : Loh...gimana seh? Kok malah nanya! Bukankah kamu yang mau mengajak kami mencari solusi?
Rumput 2 : Hah? Solusi kok dicari! Mana ada yang buang!
Pohon 1 : Baiklah, kali ini kita buat solusi!
Pohon 2 : Bukan cari solusi!
Pohon 1 : Solusi agar kita tetap bisa hidup tanpa merasa panas, kulit kita tidak kering, mengelupas, hingga daun2 kita jatuh satu persatu.
Rumput 1 : Yuph...Setahuku ketika kita membuat solusi, kita musti tahu dulu apa penyebab dari masalah yang kita alami
Pohon 123 : Yang jelas ini bukan masalah takdir
Pohon 2 : Kita boleh memperjuangkan nasib
Pohon 3 : Manusia
Pohon 1 : Ya...ini akibat kelalaian manusia
Rumput 2 : Manusia? Bukankah selama ini mereka yang selalu menyiram, memberi pupuk, dan bahkan menanam kita? Apa mungkin mereka juga yang mau membuat kita mati?
Rumput 1 : Yang membuat kita mati memang bukan manusia! Tapi mereka penyebab tanah pijakan kita menjadi sepanas bara!
Rumput 2 : Kok bisa? lalu apa tujuan mereka menanam kita? Sengaja untuk dibunuh?
Pohon 1 : Apapun tujuan manusia menanam kita, sekarang menjadi tidak penting lagi. Hal yang penting sekarang adalah mengatasi penderitaan ini...
Pohon 2 : Manusia sering menyebut kenaikan suhu bumi ini dengan pemanasan global.
Pohon 3 : Global Warming
Rumput 2 : Dan kalian mau tahu hal yang sering dilakukan manusia untuk menekan proses pemanasan global? ”Aksi Tanam Seribu Pohon”
Rumput 1 : Lalu apa mungkin kita melakukan aksi itu? Atau mungkinkah kita meminta manusia untuk melakukannya untuk kita?
Pohon 1 : Ah...yang benar saja! Kita menanam diri kita sendiri? Untuk berbicara dengan manusia jelas tidak mungkin. Kita tidak mampu melakukannya!
Pohon 2 : (MENANGIS. BERTERIAK) A...kita tidak mampu...tidak bisa...
Pohon 3 : (MEMELUK POHON 2. MENANGIS) Apa salah kita sehingga masalah menjadi demikian berat??? Aku pusing memikirkan semua ini... Mati...itu jalan terbaik... Agar manusia2 sombong itu tak pernah lagi punya kita, tak punya penyaring oksigen...kita lihat saja...sampai kapan mereka akan bisa bertahan hidup tanpa kita.
Semua : (BERDIRI BERJAJAR DI TENGAH PANGGUNG) Kami semua akan meregang nyawa. Kami akan mati. Bukan karena nyawa tak mau lagi bersemayam. Bukan karena kami bosan menghiasi dunia. Kami sudah lelah dengan semua ini. Kami lelah. Hey manusia...kami lelah karenamu.... (PINGSAN)





(TITIN YULIANTI PRAWESTI)
1 JANUARI 2009
”Makasih buat seseorang yang telah membuatku mampu melihat warna pelangi hati”
”Makasih telah membuat awal tahun ini indah untukku”
”Makasih dah jadi inspirasi dalam banyak hal”
”Semoga Pelangi di atas sana akan tetap tersenyum dengan lengkung indahnya”